BANGKOK TRIP: Cruising Chao Praya River & Maggie Choo's Bar (Part 2)

Saturday, September 03, 2016

Cerita hari pertama di Bangkok sebelumnya dilanjutkan pada hari ini, waktunya mengelilingi Grand Palace, Wat Pho, & Wat Arun. Semua tempat ini terletak sisi Chao Praya River juga sama dengan Asiatique. Dengan membayar tiket boat terusan THB 150 per orang, kita bisa bebas bolak-balik seharian ke seluruh dermaga atau pier yang berada di sepanjang sungai Chao Praya. Bisa juga bayar untuk single trip hanya ke pier yang kita tuju saja, namun jika dikalkulasi saat itu jadinya lebih mahal dan tidak seekonomis tiket boat terusan ini.


Main attractionnya tentu saja ke-3 tempat tersebut. Tapi pier-pier yang lain yang berisikan berbagai museum, Little India and Chinatown area, juga local-local market bisa juga dikunjungi, kalau: punya banyak waktu, let say stay di Bangkok dalam waktu yang lama memang suka local sight seeing. Boleh lah liat Bangkok dengan mata sebenarnya. Karena kalau mau dijelajahi 9 pier ini waaaaaahh, benar-benar bisa 1 hari penuh. Luas sekali. And it will be very tiring! Dan tempat yang dipertunjukkan pun ya 'begitu aja' gak wow-ing.
Tip: Kalau niat ke religious attraction ini pakailah baju sopan, lengan tertutup untuk atasan dan bawahan tertutup dibawah lutut. So tank top, singlet, hot pants definetely TIDAK BOLEH. Sama halnya semacam memasuki kawasan Istana Negara, Candi Borobodur, dan Masjid Istiqlal. Jadi enggak ribet buat ganti-ganti baju atau malah jadi terperangkap sewa atau apesnya malah beli (padahal gak niat beli dan gak penting buat dibeli). Yes di depan Grand Palace banyak orang-orang yang menyewakan semacam kain sarung panjang yang bisa dililit untuk pengunjung yang pakai baju 'kurang sopan' tadi.
Disarankan datang pagi jandi tidak terburu-buru, karena banyak temple yang sekitar jam 17.00 aja sudah tutup.
Grand Palace, Wat Pho, & Wat Arun
BTS: Saphan Taksin (continue with Chao Praya Tourist boat)

Pada awalnya saya berpikir, "kan sudah bayar THB 150 dan gratis bisa ke seluruh pier coba aja jelajahin". Karena saya suka sekali bunga, saya mau mampir ke Flower Market-nya. Entah kayaknya saya aja yang kurang beruntung karena datangnya siang jadi bunganya gak ada (dianjurkan memang datangnya pagi jam 02.00 - 04.00 katanya) atau ya emang itu pasar bunga begitu aja adanya, gak beda jauh sama kondisi Rawa Belong. Malah mungkin lebih bagus Rawa Belong, setelah saya turun di pier flower market ini, berdasarkan guide book yang saya punya katanya open 24 hours dan the largest wholesale flower market di Bangkok, saya kecewa. 

Nemu rerimbunan bunga aja enggak. Malah dengan kondisi cuaca Bangkok yang menurut saya lebih panas dan humid daripada Jakarta dan Singapore lalu melihat sisi kota Bangkok yang enggak juga lebih bagusnya daripada Jakarta membuat saya jujur aja, 2 kali ke kota ini tetap masih memuja Jakarta. 

gak nemu pasar bunga, malah adanya pasar sayur, err
shrine (kuil) di dalam pasar
Well just simply karena faktor cuacanya aja yang enggak bersahabat. Alamak PANAS. Sunscreen wajib banget hukumya sama SPF sekujur tubuh. Membuat saya jadi gak enjoy-enjoy banget. Gak beda jauh berantakannnya sama daerah pasar-pasar tradisional di pinggiran kota Jakarta atau kota lainnya di Indonesia.

Dari pier menuju Grand Palace, banya krestoran dan kafe-kafe yang bisa digunkan untuk ngadem kalau saking gak kuatnya dengan panas matahari. Sunglasses dan topi lebar kok kayaknya jadi wajib banget deh dipakai jalan-jalan kesini.

Grand Palace menjadi tujuan pertama, komplek kerajaan Thailand dengan tarif THB 500, mahal menurut saya untuk ukuran cuma 'melihat' gedung-gedung aja. 
First impression saya walau sudah masuk ke tempat ini untuk kedua kalinya tetap WOW. I just simply love the detailed architecture. 
Megah sekali dan terawat, jadi sejauh mata memandangpun enak melihat keadaan sekelilingnya yang masih ada tanaman hijau yang segar dan asri. Harga tiket yang dibayar masuk Grand Palace sudah termasuk dengan tiket masuk The Pavilion of Regalia - Royal Decorations and Coins, Vivanmek Palace/Mansion (former royal villa in Bangkok), dan Abhisek Dhusit Throne Hall (tempat raja-raja  Thai dulu melangsungkan jamuan-jamuan kenegaraan). Karena 2 tempat terakhir yng tidak berdekatan (saya google jaraknya sekitar 20 menit lagi pakai taxi) dengan Grand Palace jadi saya tidak mengunjunginya. Which was setelah dipikir-pikir sayang deh udah termasuk tiketnya kan soalnya. Lagi-lagi, if you have more time (and energy) -yang sayangnya saya gak punya walau udah 2 kali datang ke Bangkok- ini lumayan sepertinya (dari gambar yang saya google) mendatangai tempat ini, especially for those yang suka dengan sejarah dan arsitektur. Saya pribadi suka dengan arsitektur khas Thailand, terasa megah namun tetap warm dan tradisional. Unik!
he was trying so hard to do a selfie haha
Grand Palace sendiri adalah kawasan tempat tinggal kerajaan Thailand yang luaaaaas banget. Terdiri dari banyak pavilion, garden, dan wing-wing, dan tempat-tempat ibadah disekitarnya.  The Emerald Buddha (sang Buddha berwarna hijau) juga ada di kawasan ini. Sentuhan gold dan warna arsitektur bangunannya indah sekali. Saya terkagum-kagum.
Kalau The Pavilion of Regalia isi bangunanya hmmmm, ya gitu dehhh... Hmm boring menurut saya. Bangunan yang tidak luas namun bertingkat ini memamerkan perkembangan mata uang coin Thailand dari masa ke masa (CMIIW), juga barang-barang yang dipergunakan Royal Family seperti pakaian, perhiasan, bahkan ada juga video rekaman dan barang-barang yang dipakai saat prosesi memperkenalkan bayi Royal Family di hadapan publik yang dibarengi juga dengan semacam pembaptisan (saya kurang ngeh ini namanya apa), jadi ada baby cradle-nya segala. Sayangnya barang-barang antik dalam museum ini tidak dikemas secara menarik. To be honest yang kelihatan gak seperti setumpuk benda berharga pra-sejara tapi cuma seperti jajaran benda-benda jaman dulu di rumah nenek kakek aja ditambah ruangan dan lighting yang tidak terang apalagi membuat suasana museum ini jadi tambah gak menarik.

Dari Grand palace bisa jalan kaki atau naik tuk tuk (lumayan kalau jalan panas-panas begitu) menuju Wat Pho, temple complex area yang juga menjadi top list dari daftar 6 royal temple di Thailand. 
Dengan membayar THB 100 kita bisa melihat patung Buddha terbesar di Thailand dengan panjang 46 meter dan tinggi 15 meter. The Reclining Buddha or Sleeping Buddha ini juga termasuk salah satu tourist destination jika mengunjungi Bangkok. 
Di telapak kaki Buddha ini ada 108 lambang karakter Buddha dengan lingkaran di tengahnya yang merepresentasikan Chakra atau energi. 108 mangkuk perunggu dijajarkan di belakang patung Buddha ini dan pengunjung dapat menukarkan uang dengan 108 koin yang tersedia. They believe it will bring fortune and the money it self is for maintaining the wat.
Tapi niat saya sebenarnya kesini adalah untuk mencicipi Thai massage di negera asalnya. Ya, Wat Pho adalah jantung dari Thai massage di Thailand. Wat Pho Traditional Massage School adalah salah satu dari massage school yang sudah lama berdiri di Thailand dengan kualitas yang enggak-usah diragukan lagi. 
Saya sendiri baru pertama kali mencoba Thai massage, setelah sebelum-sebelumnya yang selalu memuja traditional Javanese or Balinese, Indonesia massage alias urut. But this time massage experience was so AH MAH ZING ! Ini enaaaaakkk banget. Dan menjadi massage favorit saya (for now). The BEST! Pantesan mau nunggu giliran massage itu antri banget. Jangan bayangkan kalau ruangannya private kayak di tempat-tempat massage atau spa kenamaan. Disini cuma berisikan jajaran kasur-kasur yang diletakkan diatas dipan. Ruangannya ber-AC, cukup nyaman kerena habis menjelajah temple complex dan Grand Palace sambil disengat terik matahari di luar tadi. 
Walau therapist dan customer harus bejenis kelamin yang sama (jadi tenang, kalau perempuan ya pasti therapistnya perempuan begitu juga sebaliknya) namun area jajaran kasur tempat kita pijat itu dicampur. Jadi jangan kaget ya kalau di sebelah tiba-tiba laki-laki. Maklum juga gak ditutup curtain atau sekat sama sekali. Tapi jagan khawatir, Thai massage ini pijat yang efisien dan efektif sekali dari segi waktu ataupun perlengkapan pijatnya. Kalau di tempat pijat lain pasti kita disuruh ganti baju, pakai kemben doang misal atau ada juga yang pakai celana dalam aja dan cuma ditutup handuk aja kan, Thai massage enggak sama sekali. Orang yang dipijat itu memakai baju utuh. Jadi yang pakai jeans, dress, atau kemeja sekalipun bisa langsung dipijat tanpa harus menanggalkan baju. Karena teknik dari Thai massage sendiri berupa pressure and stretching. Tanpa oil atau lotion jangan kaget kalau nanti ketika kita tengkurap dan therapist menarik kedua tangan kita lalu kaki atau lutut sang therapist menekan paha, bokong, pinggang. Ini gerakannya semacam yoga, disuruh terlentang, miring kanan, miring kiri, tarik atas, tarik bawah, tendang depan, tendang belakang. Dan hasilnya tidur nyenyak. Like every inch of your body muscle 'kena' semua, gak ada yang terlewat. THB 260 untuk 30 menit, worth it!
Tip: Kalau niat mau massage disini, pakai baju yang nyaman dan loose (dan sopan, karena kan ke Grand Palace dan temple area), lupakan blouse bermanik-manik atau berenda atau dress (walau dibawah lutut) karena bikin gak nyaman ketika nanti disuruh bolak balik dan ditarik-tarik
refreshment drink after massage
Selesai mengelilingi kawasan ini, kami nyebrang untuk melihat Wat Arun yang ketika kami sampai di sana ternyata sedang di renovasi. 
Jadi ada tiang-tiang penyangga yang membuat gak menarik sama sekali, karena ya cuma bangunan batu gitu aja (bagusan Borobudur sama Prambanan).  
Justru The Temple of Dawn ini bagusnya kalau kita melihat dari sisi sebrangnya alias sisi dimana Wat Pho dan Grand Palace berada, apalagi ketika sunset bagus sekali. Karena ada spotlight yang menerangi bangunan ini. 

Karena masih agak sore, kami penasaran mau menelusuri sisa pier-pier yang lain, kami pun ke Khaosan Road, area backpacker dimana banyak hostel-hostel, cafe , dan club murah. 


Sialnya ternyata jalan menuju Khaosan Road itu harus jalan kaki agak jauh selama 20 menitan. Nyampe sanapun karena ya masih sore, hingar bingar sperti yang saya baca di internet belun nampak. 
Dan karena saya ngotot masih pengen menikmati sunset dari tempat yang descent. Alhasil kami balik lagi ke pier Wat Pho dan duduk di riverside restaurant yang Wulan rekomendasikan yaitu Sala Rattanakosin.
Restoran ini punya deck view tempat kita bisa langsung melihat Wat Arun dan sunset di seberang. Saya cuma beli minum aja sama ngemil mini burger. Tapi dari yang Wulan bilang, restoran ini adalah restoran fine dining yang populer dan makanannya enak (tentunya enggak murah, karena jual view juga pastinya). Yang mau dinner cantik dan romantis, atau mau ngelamar pacarnya di Thailand, ya boleh laaah resto ini diperhitungkan :). Sayang karena waktu itu sok-sokan mau bertualang ke pier-pier lain, jadi telat dan kurang dapat sunset di sini :(.
Malamnya kami ke Maggie Choo's Bar diajak oleh Wulan dan Ichol, suaminya buat ketemuan. Bar yang terletak persis di bawah hotel kami menginap, yakni Novotel Bangkok Silom ini ternyata cukup unik. Saya suka konsepnya, menurut review yang saya baca masuk ke Maggie Choo semacam masuk ke dalam bar Shangai tahun 1930, sentuhan ornamen Chinese yang authentic membuat tempat ini unik banget, terlepas dari Cheong Sam dress (berbelahan paha yang tinggi) ladies yang dipajang untuk duduk di ayunan dan leyeh-leyeh sambil main kartu di loft yang terletak di area bar (beneran kayak hiasan aja gitu mereka). 

Private room nya seperti memasuki penjara bawah tanah dengan tembok bata yang mengelilingi. Interior yang unik! The leather sofa is another centre attention. Lumayan enak buat ngobrol-ngobrol  musiknya juga enggak terlalu keras jadi gak perlu teriak satu sama lain untuk ngomong, sesekali musik Jazz juga masih dimainkan dan beberapa pengunjung ikutan bernyanyi ke area performance stage.

Maggie Choo's Bar
320 Silom Rd, Silom, Bang Rak, Bangkok 10500
BTS: Surasak (continue walk 800 metres)

Continue reading our last part Bangkok trip here.

You Might Also Like

0 comments